Opini

Ketika Komunikasi Menyelamatkan: Sebuah Pelajaran dari Dua Pejabat dalam Satu Skandal

lintaspriangan.com, OPINI. Di negeri ini, menjadi pejabat bukan semata soal kompetensi dan jabatan. Ia juga tentang seni menjaga hubungan, membangun simpati, dan merawat komunikasi. Dua pejabat—sebut saja Si A dan Si B—menjadi contoh nyata bagaimana sikap dan gaya komunikasi bisa menentukan arah simpati publik, bahkan ketika keduanya berada dalam situasi yang sama: terlibat dalam dugaan korupsi.

Si A dikenal sebagai sosok yang supel, ramah, dan terbuka. Ia menyapa siapa pun, dari wartawan lokal hingga aktivis LSM. Tak jarang ia menyempatkan hadir dalam forum-forum masyarakat, membaur tanpa sekat. Si B dikenal sebaliknya. Ia tertutup, membatasi interaksi hanya pada kalangan tertentu, bahkan sering dianggap arogan oleh banyak pihak di luar lingkaran kecilnya.

Ketika keduanya tersandung kasus korupsi, respon eksternal menunjukkan kontras mencolok. Terhadap Si A, ada gelombang empati yang datang. Banyak yang berusaha membantu, menenangkan situasi, bahkan membatasi ekspos pemberitaan agar tak terlalu destruktif. Sementara pada Si B, publik seperti menemukan “pembenaran”. Laporan demi laporan bermunculan, investigasi media kian tajam, dan pemberitaan pun masif tanpa kompromi.

Fenomena ini mencerminkan satu hal penting: komunikasi adalah kekuatan lunak yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Dalam konteks budaya Indonesia yang sarat nilai ketimuran, pendekatan personal, keramahan, dan keterbukaan menjadi modal sosial yang tak tergantikan. Undang-undang bisa disusun sedetail mungkin, sistem bisa dibangun seketat apapun, namun pada praktiknya, adab dan simpati tetap menjadi pertimbangan utama dalam membentuk persepsi publik di negeri ini.

Indonesia, dengan karakter budayanya, adalah bangsa yang menjunjung tinggi hubungan emosional. Masyarakat kita masih terbiasa “menimbang hati” dalam menyikapi kesalahan orang lain. Maka wajar jika pejabat yang pandai merawat komunikasi, meski terjerat kasus berat, masih bisa mendapat ruang maaf dan pemakluman.

Namun ini bukan pembenaran atas pelanggaran hukum. Justru ini peringatan. Bahwa bagi siapa pun yang hari ini duduk di kursi kekuasaan, komunikasi bukan sekadar pelengkap, tapi sebuah kebutuhan strategis. Terlebih dalam era keterbukaan informasi, media bukan hanya saluran, tapi sekaligus pembentuk opini publik. Mereka memiliki hak, bahkan tanggung jawab, untuk menyampaikan kebenaran—dan kepada merekalah –salah satunya– pejabat wajib membangun jembatan komunikasi.

Apalagi hari ini, sikap eksklusif dan tertutup seperti yang ditampilkan Si B menjadi semakin berbahaya. Dunia telah berubah. Data bukan lagi barang rahasia yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang. Kini hampir semua orang bisa mengakses informasi melalui ponsel, membuka rekam jejak, dan mengungkapkan isi hati secara terbuka di ruang publik digital. Hubungan atasan-bawahan pun tak lagi sekaku era Orde Baru. Dulu, bawahan terbiasa bungkam seribu bahasa saat ditanya pihak luar. Kini, celotehan santai pegawai yang merasa tidak dihargai bisa menjadi pelatuk skandal. Banyak kasus besar justru bermula dari ruang kecil—obrolan kantor, status media sosial, atau kiriman anonim ke redaksi. Dan ketika pejabat gagal menjalin empati, maka tak ada lagi yang menahan ledakan itu.

Pejabat, yang hidup dari anggaran negara, hakikatnya hidup dari keringat rakyat. Maka sungguh ironis jika ada pejabat yang bersikap angkuh, tertutup, dan merasa tak perlu membangun relasi publik. Sebab dalam realitas sosial-politik Indonesia, kejatuhan pejabat bukan hanya karena kesalahan mereka, melainkan karena tidak ada lagi yang mau membela mereka saat jatuh.

Kisah dan paparan di atas bukan semata pengamatan dari jauh. Ini adalah bagian dari pengalaman pribadi penulis, yang telah bergelut di dunia jurnalistik sejak tahun 1995—ketika itu masih semester tiga di bangku kuliah Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Dari ruang-ruang redaksi hingga pelosok wilayah liputan, penulis menyaksikan langsung betapa kuatnya dampak komunikasi dalam menyelamatkan—atau menenggelamkan—karier seorang pejabat.

Kisah Si A dan Si B adalah pelajaran nyata: yang membuat pejabat tetap berdiri bukan semata karena ia bersih, tapi karena ia pandai menjalin simpati. Dan di negeri yang penuh ranjau ini—dimana korupsi bisa menjerat siapa saja—mereka yang selamat bukan hanya yang benar, tapi yang pandai menjaga nurani publik melalui komunikasi yang tulus dan terbuka.

Boleh percaya atau tidak, para pejabat yang kemudian tersandung kasus, pada awalnya mereka merasa baik-baik saja. Satu hal yang mereka tidak sadari, di negeri ini, kebenaran tidak hanya soal fakta, tapi juga rasa. (AA)

Penulis adalah Redaktur Lintas Priangan

Related Articles

Back to top button