Anak Kyai Diduga Jadi Korban Salah Tangkap, Santri Geruduk Polsek

lintaspriangan.com, BERITA BOGOR. Gelombang kemarahan warga pecah di wilayah Parung Panjang, Kabupaten Bogor, setelah beredar luas informasi dugaan salah tangkap yang menimpa seorang anak kyai terpandang. Peristiwa ini dengan cepat menyedot perhatian publik, bukan hanya karena menyangkut dugaan pelanggaran prosedur hukum, tetapi juga karena melibatkan sosok yang memiliki posisi moral dan sosial kuat di tengah masyarakat pesantren.
Dalam berbagai unggahan warganet, disebutkan bahwa korban dugaan salah tangkap merupakan anak seorang kyai yang dikenal luas di Desa Tegalega, wilayah perbatasan Rumpin–Cigudeg. Informasi tersebut menyebar masif di berbagai platform media sosial, memicu reaksi berantai dari para santri dan masyarakat sekitar.
Salah satu unggahan yang paling ramai diperbincangkan berasal dari akun TikTok bernama angga. Dalam waktu kurang dari 24 jam, unggahan tersebut telah ditonton lebih dari 600 ribu kali, menandakan betapa sensitif dan besarnya perhatian publik terhadap kasus ini. Kolom komentar pun dipenuhi respons warganet yang mempertanyakan proses penangkapan hingga transparansi aparat penegak hukum.
Salah satu komentar yang banyak disorot datang dari akun bernama sahabat gedang. Dalam komentarnya, akun tersebut menuliskan, “Saya bantu jawab yah. Ini kasus salah tangkap. Yang ditangkapp anak kyai terpandang di Desa Tegalega. Terus itu (maksudnya massa yang berkumpul) adalah para santri murid kyai.” Komentar ini kemudian dibagikan ulang oleh sejumlah akun lain, memperkuat narasi bahwa massa yang bergerak bukan sekadar warga biasa, melainkan para santri yang merasa gurunya—secara moral dan kehormatan—telah dilukai.
Dari informasi yang beredar, dugaan salah tangkap tersebut dipicu oleh proses penangkapan yang dinilai tidak disertai prosedur hukum yang jelas. Warganet menyebutkan tidak adanya surat penangkapan resmi, serta tidak ada pemberitahuan kepada pihak keluarga maupun lingkungan setempat sebelum korban dibawa oleh aparat. Situasi ini memicu keresahan, yang kemudian berkembang menjadi kemarahan kolektif.
Reaksi tersebut akhirnya bermuara pada kedatangan massa ke Kantor Polsek Parung Panjang. Dalam berbagai video yang beredar, terlihat kerumunan besar memadati area sekitar kantor polisi. Narasi yang berkembang menyebutkan bahwa ribuan santri turut bergerak sebagai bentuk solidaritas dan tuntutan keadilan.
Bagi masyarakat pesantren, relasi antara kyai dan santri bukan sekadar hubungan guru dan murid. Ada ikatan emosional, spiritual, dan moral yang kuat. Ketika anak seorang kyai diduga diperlakukan tidak adil, rasa tersinggung itu menjalar cepat, melampaui batas keluarga, bahkan desa. Di titik inilah, persoalan hukum berubah menjadi persoalan harga diri kolektif.
Sementara itu, menurut informasi yang juga beredar di media sosial, anggota kepolisian yang diduga terlibat dalam penangkapan tersebut telah menjalani pemeriksaan internal oleh Propam Polres Bogor. Pemeriksaan ini disebut sebagai langkah awal untuk mendalami dugaan pelanggaran prosedur yang ramai dipersoalkan publik.
Namun hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari pihak Polres Bogor maupun Polsek Parung Panjang terkait kronologi lengkap peristiwa, status hukum korban, serta hasil awal pemeriksaan terhadap aparat yang terlibat. Kekosongan informasi resmi ini justru membuat spekulasi publik semakin liar dan emosi massa sulit diredam.
Kasus dugaan salah tangkap ini menjadi pengingat keras bahwa di era media sosial, satu peristiwa lokal dapat dengan cepat berubah menjadi isu nasional. Kecepatan aparat dalam memberikan klarifikasi yang transparan dan berimbang menjadi kunci, bukan hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan publik.
Di tengah derasnya arus informasi, masyarakat kini menunggu satu hal sederhana namun krusial: kejelasan. Sebab bagi publik, terutama komunitas pesantren, hukum tidak cukup hanya ditegakkan—ia juga harus terlihat adil. (AS)



